Menanggapi terkait OTT yang menimpa Topan Obaja Putra Ginting selaku Kepala Dinas PU Sumatera Utara, maka kami dapat sampaikan sebagai berikut:
Pertama, fee dalam pengadaan barang dan jasa khususnya pada bidang infrastruktur bukan merupakan modus yang baru dalam dunia korupsi dan menduduki peringkat tertinggi dalam jenis perkara yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak KPK berdiri. Korupsi di Dinas PU merupakan modus berulang yang sudah berlangsung puluhan tahun. Suap biasanya dibagi antar aktor, dengan potongan wajib sebesar 15-20% dari total nilai proyek infrastruktur hampir pada seluruh wilayah di Indonesia. Proyek infrastruktur jadi ladang korupsi bagi kepala daerah dan pejabat bawahannya karena bernilai besar dan strategis, serta paling mudah “menghitung keuntungannya”, sesederhana berapa nilai proyek, langsung dipotong didepan sebesar 20%. Akibatnya, pembangunan tidak maksimal dan rakyat tidak merasakan manfaatnya. Perlu di ingat, selain nilai setoran wajib 15-20% tersebut, pelaksana pekerjaan juga harus mengambil keuntungan untuk membiayai gaji karyawan, operasional perusahaan, dll, sehingga secara faktual hanya 40-60% saja anggaran proyek infrastruktur yang secara riil benar-benar menjadi barang/bangunan fisik, sisanya menguap menjadi “ongkos pelicin”.
Kedua, kasus ini menjadi menarik karena Topan Obaja Putra Ginting sudah mendampingi Bobby Nasution sejak masih menjabat sebagai Wali Kota Medan. Sebagaimana diketahui bersama Bobby Nasution adalah menantu dari mantan Presiden Joko Widodo. Untuk itu, dalam sejarah penanganan kasus yang melibatkan orang dekat yang memiliki kekuasaan pasti akan terdapat potensi intervensi dalam penanganan kasus, sehingga disinilah independensi KPK akan diuji untuk menelisik sejauh mana dan apa motif dari pengumpulan fee yang diduga dilakukan oleh Topan Obaja Putra Ginting. Hal tersebut mengingat pengalaman dalam penanganan kasus KPK, fee yang dikumpulkan oleh Kepala Dinas tidak hanya untuk kepentingan Kepala Dinas sendiri, hampir bisa dipastikan fee tersebut mengalir sampai jauh.
Ketiga, nilai yang diamankan oleh KPK pada saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus ini senilai Rp 231 juta, yang diduga sebagai bagian dari komitmen fee, tidak dapat disimpulkan menjadi nilai akhir dari penanganan kasus ini. Pada sejarahnya KPK bahkan pernah menangani kasus OTT dengan nilai lebih kecil, tetapi pada saat pemulihan uang pengganti mencapai nilai fantastis dan melibatkan tokoh kunci. Contoh nyata dari hal ini adalah pada saat KPK menangani kasus OTT KPU yang melibatkan Harun Masiku dan dapat melibatkan Hasto Kristiyanto sebagai Terdakwa. Untuk itu, ujian sesungguhnya adalah pasca OTT ini, seberapa jauh dan seberapa besar komitmen KPK untuk menolak intervensi dan menekankan prinsip equality before the law pada saat penanganan kasus ini.
Demikian disampaikan. Panjang umur perjuangan!
Praswad Nugraha
Mantan Penyidik Senior KPK