Menanggapi penuntutan resmi oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini Kamis tgl 3 Juli 2025 terhadap Hasto Kristiyanto terkait perkara turut serta dalam suap kepada mantan Komisioner KPU dan dugaan perintangan proses penegakan hukum kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, maka kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, tindakan KPK yang secara konsisten menuntut Hasto dengan hukuman 7 tahun penjara dengan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan, patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen memberantas korupsi secara menyeluruh. Terlebih lagi, Jaksa telah mempersiapkan surat tuntutan sebanyak 1.300 lembar membuktikan bahwa KPK benar-benar siap secara materiil untuk menerapkan prinsip equality before the law. Perlu diingat, kasus ini bukan sekadar persoalan perkara suap biasa, melainkan upaya sistematis untuk menghambat proses hukum dalam pergantian anggota DPR RI yang mestinya berjalan transparan dan demokratis. KPK menunjukkan tekad menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sekalipun terhadap aktor politik berpengaruh. Perintangan penyidikan (obstruction of justice) adalah kejahatan terhadap sistem peradilan itu sendiri, dan pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban.
Kedua, publik perlu memahami bahwa kasus ini memiliki implikasi yang jauh lebih besar daripada nilai nominal suap yang terlibat. Korupsi politik merusak sendi-sendi utama dalam kehidupan kita bernegara, tindakan menghambat proses penegakan hukum tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak jantung demokrasi dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Kami mendorong KPK untuk menggunakan segala instrumen hukum yang ada, termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), guna melacak aliran dana dan menyita aset-aset yang diduga terkait dengan tindak pidana ini. Koruptor dan mereka yang menghambat proses hukum harus dipastikan tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari kejahatan mereka. Jangan sampai masih ada pihak-pihak lain yang juga terlibat dalam proses perintangan penyidikan dalam perkara ini namun bisa bebas melenggang diluar sana menghirup udara bebas tanpa ada konsekuensi hukum bagi dirinya.
Ketiga, Hasto bukanlah satu-satunya aktor dalam kasus ini. Dugaan perintangan penyidikan menunjukkan adanya jaringan yang lebih luas yang berusaha melindungi kepentingan tertentu dalam proses pergantian anggota dewan. KPK harus berani menelusuri lebih dalam untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat, baik di lingkungan partai politik, lembaga legislatif, maupun pihak-pihak lain yang mungkin berkepentingan. Kasus ini adalah ujian nyata bagi komitmen KPK dan penegak hukum lainnya untuk membersihkan sistem politik dari praktik korupsi dan upaya pelemahan hukum.
Kami menegaskan bahwa segala upaya untuk menarik opini masyarakat agar meyakini bahwa perkara ini adalah murni perkara politik dan bukan merupakan perkara tindak pidana korupsi adalah semata-mata untuk mengalihkan isu dari fakta dan kenyataan pahit yang harus kita terima sebagai sebuah bangsa dan negara, bahwa korupsi memang sudah memasuki seluruh lini kehidupan masyarakat, bahkan korupsi sudah menyentuh level tertinggi dari sebuah negara demokrasi, yaitu korupsi politik.
Seruan Kami:
-
- Proses peradilan harus transparan dan independen, bebas dari intervensi politik atau tekanan pihak mana pun.
-
- Terbutkan sprindik tambahan lebih lanjut terhadap seluruh jaringan yang terlibat, termasuk pihak-pihak lain yang melaksanakan perintangan penyidikan.
-
- Perlindungan bagi whistleblower dan saksi yang berani mengungkap fakta baru.
-
- KPK harus tetap profesional, mengedepankan fakta hukum, tidak boleh tunduk pada tekanan politik.
Demikian disampaikan. Panjang umur perjuangan melawan korupsi!
Praswad Nugraha
Mantan Penyidik Senior KPK
One Response
Indonesia tidak pernah kekurangan cerita besar. Dari dinamika pemilu, pelantikan pejabat, hingga keputusan pengampunan negara—semuanya hadir silih berganti, memadukan kepentingan, harapan, dan kegelisahan. Namun di tengah riuh rendah itu, satu pertanyaan sederhana mengemuka: di mana posisi rakyat ketika keputusan besar diambil atas nama rekonsiliasi atau stabilisasi politik?
Saya melihat bahwa politik hari ini bukan lagi soal siapa berkuasa, tapi bagaimana kuasa dijalankan. Saat abolisi dan amnesti diberikan kepada tokoh-tokoh penting, sebagian publik menyambut dengan optimisme. Sebagian lagi bertanya diam-diam: apakah sistem hukum sedang diuji, atau justru dikompromikan demi narasi besar?
Saya tidak hendak menuding. Karena saya percaya, setiap kebijakan memiliki kompleksitas yang tidak selalu bisa dipahami dari luar. Tapi saya juga percaya bahwa kepercayaan bukan sesuatu yang diberikan begitu saja—ia tumbuh dari ketulusan sistem menunjukkan integritasnya. Dan integritas itu diuji bukan saat semuanya berjalan mulus, melainkan saat ada ruang untuk kritik.
Kita bisa bersikap dewasa tanpa menjadi dingin. Kita bisa bertanya tanpa menjadi oposisi. Kita bisa berharap sambil tetap menjaga nalar tetap menyala.
🔹 Sisi Potensial Positif:
Apakah pemberian pengampunan ini bisa membuka ruang rekonsiliasi nasional yang lebih jujur dan humanis?
Dapatkah kebijakan ini menjadi titik awal untuk merevisi sistem hukum agar lebih inklusif dan korektif terhadap kesalahan masa lalu?
Apakah ini menunjukkan keberanian politik untuk merawat stabilitas dengan pendekatan yang tidak represif?
🔹 Sisi Potensial Negatif:
Apakah pengampunan ini memberi kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan demi kepentingan politik jangka pendek?
Di mana posisi integritas hukum jika keputusan strategis diambil tanpa partisipasi dan transparansi publik?
Apakah preseden ini membuka peluang bagi praktik impunitas terselubung dalam pemerintahan ke depan?
Yang saya rindukan dari politik bukan sekadar program dan janji. Tapi politik sebagai ruang etis, tempat pemimpin memandang warga bukan sebagai angka dalam survei, melainkan sebagai suara yang ingin didengar dan dijelaskan secara terbuka.
Ketika integritas menjadi arus utama, maka rekonsiliasi bukan berarti melupakan, melainkan mengakui luka sambil merawat harapan. Ketika transparansi menjadi budaya, maka pengampunan negara tidak dilihat sebagai kelonggaran, tapi sebagai keberanian membuka kembali lembaran hukum dan menyusunnya ulang dengan akal sehat dan hati bersih.