Badan Usaha Milik Negara (BUMN) punya wewenang baru: hapus buku dan hapus tagih. Kewenangan ini termuat di dalam Undang-Undang (UU) BUMN anyar: UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Kewenangan hapus buku dan hapus tagih BUMN tidak secara spesifik diatur dalam regulasi sebelumnya, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Hal ini berkaitan dengan adanya dampak kerugian negara, khususnya dalam upaya hapus tagih. Pasal 4 Ayat 1 UU BUMN Nomor 19 Tahun 2003 menyebutkan, modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pasal 2 Huruf g UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan, kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.
Kita ketahui, Mahkamah Konstitusi, lewat putusannya Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 telah menetapkan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal usaha BUMN dan BUMD masih tetap menjadi kekayaan negara.
Pasal 94A Huruf b UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025 menyebutkan, pada saat UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025 mulai berlaku, semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kekuasaan pengelolaan keuangan negara atas kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN, perbendaharaan negara, penerimaan negara bukan pajak, dan perseroan terbatas, tidak berlaku sepanjang telah diatur khusus di dalam UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025.
Maka, BUMN dapat dikatakan mulai saat ini menjadi murni korporasi, sehingga salah satunya dapat melakukan hapus buku dan atau hapus tagih.
Kewenangan hapus buku dan hapus tagih BUMN tertuang eksplisit dalam Pasal 62D Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2025. Di sana disebutkan bahwa BUMN mempunyai wewenang untuk melakukan hapus buku dan atau hapus tagih. Lalu, Pasal 62D Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2025 menyatakan hapus buku dan atau hapus tagih dapat dilakukan untuk Aset BUMN.
Aset BUMN, merujuk Pasal 1 Angka 10 UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025, adalah segala bentuk barang atau bentuk kekayaan yang dimiliki oleh BUMN yang dapat dinilai dengan uang dan memiliki nilai tukar dan atau nilai ekonomi.
Hapus buku, secara umum, adalah penghapusan pinjaman atau piutang dengan kualitas macet dari neraca, tetapi tetap dicatat pada rekening administratif perusahaan. Singkatnya, pinjaman atau piutang dengan kualitas macet dikeluarkan dari pencatatan neraca keuangan (on-balance sheet) ke pencatatan akun administratif (off-balance sheet) perusahaan.
Sedangkan, hapus tagih adalah tindakan perusahaan menghapus kewajiban peminjam atau debitur atas pinjaman atau kredit dengan kualitas macet yang tak dapat lagi ditagih. Intinya, dengan hapus tagih, perusahaan menghapus hak tagih piutangnya kepada peminjam atau debitur.
Yang menarik, meskipun pengaturan kewenangan hapus buku bagi BUMN baru muncul dalam UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025, bank-bank BUMN sesungguhnya telah lebih dahulu melakukannya. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) merupakan bank BUMN dengan nilai hapus buku terbesar, di mana hingga September 2024 BRI telah melakukan hapus buku portofolio kreditnya hingga Rp33,5 triliun atau naik sekitar 32,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya (keuangan.kontan.co.id, 3 November 2024).
Bagi sektor perbankan, rujukan tindakan hapus buku adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Di dalam Pasal 68 Ayat 1 POJK Nomor 40 Tahun 2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum disebutkan bahwa hapus buku hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang telah didukung perhitungan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebesar seratus persen dan kualitasnya telah ditetapkan Macet.
Namun, OJK mempersyaratkan adanya kriteria hapus buku. Kriteria ini wajib disusun dalam kebijakan dan prosedur bank. Pasal 69 Ayat 1, 2, dan 3 POJK Nomor 40 Tahun 2019 menyebutkan tiga kondisi untuk hapus buku. Pertama, hapus buku hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif yang diberikan. Kedua, Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku. Ketiga, Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aset Produktif yang telah mengalami hapus buku.
Untuk tindakan hapus tagih, bank-bank BUMN selama ini tentu saja masih takut melakukannya. Ketakutan ini berhubungan dengan konsekuensi pengenaan pasal kerugian negara oleh Aparat Penegak Hukum. Jadi, meskipun bank-bank BUMN telah sering kali melakukan hapus buku terhadap kredit-kredit dengan kualitas macet, mereka belum berani melaksanakan tindakan hapus tagih. Kredit-kredit macet itu tetap tercatat di dalam akun administratif bank-bank BUMN.
Pada prinsipnya, hapus buku dan atau hapus tagih dapat diterima. Hal ini dengan pertimbangan bahwa hapus buku dan atau hapus tagih semata-mata guna kembali menaikkan kinerja perusahaan, tanpa direcoki oleh piutang-piutang macet yang tak lagi bisa ditagih. Dan, yang perlu diingat, bahwa hapus buku dan atau hapus tagih haruslah sebagai upaya pamungkas atau terakhir setelah pelbagai usaha penyelamatan sudah dilakukan perusahaan.
Walhasil, ada dua catatan maha esensial dalam pelaksanaan kewenangan hapus buku dan atau hapus tagih oleh BUMN.
Pertama, dengan diberikannya kewenangan hapus buku dan atau hapus tagih kepada BUMN, bukan berarti BUMN tidak harus menjalankan prinsip kehati-hatian dan transparansi dalam memberikan pinjaman atau kredit. Analisis yang kuat dan mendalam tetap wajib terlaksana.
Selain itu, penerapan tata kelola yang baik merupakan aspek krusial, di mana pengawasan aktif Direksi, Dewan Komisaris, dan para Pejabat Eksekutif perlu berjalan secara reguler. Analis pinjaman atau kredit tidak dapat dipersalahkan secara personal apabila terjadi permasalahan penyaluran pinjaman atau kredit. Hal ini karena penyaluran pinjaman atau kredit merupakan tanggung jawab manajemen perusahaan secara keseluruhan.
Kedua, ketentuan hapus buku dan hapus tagih wajib disusun dengan kriteria yang jelas dan tegas. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan ketentuan hapus buku dan hapus tagih berpotensi menimbulkan tafsir yang beragam. Akibatnya, pelaksanaan hapus buku dan hapus tagih dapat dilakukan sesuai interpretasi pihak-pihak yang berkepentingan, baik oleh orang-orang di dalam BUMN maupun pihak lain dari luar BUMN.
Jangan sampai timbul bencana moral (moral hazard) dalam penggunaan kewenangan hapus buku dan atau hapus tagih oleh orang dalam BUMN.
Faisal Djabbar
Direktur Riset IM57+ Institute