Pancasila dan upaya bangsa ini memberantas korupsi punya penjuru serupa. Keduanya mendambakan perwujudan masyarakat adil dan berkeadilan.
Dalam Pancasila, telah kita ketahui bersama, spirit keadilan sangat menonjol. Kata “keadilan” muncul di dua sila, yakni sila kedua dan kelima.
Pada sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, keadilan menjadi dasar atau landasan nilai kemanusiaan bagi kedirian manusia Indonesia.
Pada sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, keadilan menjadi alasan dibentuknya negara ini.
Sisi lain, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, pada hakikatnya, berujung pangkal pada manifestasi masyarakat adil dan berkeadilan.
Butir konsideran penyusunan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) menyebutkan “tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” Kalimat kuncinya adalah “mewujudkan masyarakat adil dan makmur”.
Lebih jauh, pada aspek menimbangnya, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK menegaskan “tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”
Kalimat “pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas”, menurut saya, bermakna bahwa korupsi sesungguhnya adalah pengingkaran terhadap ikhtiar gigih perwujudan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Dengan lain perkataan, upaya pemberantasan korupsi adalah jalan merawat hak-hak sosial dan ekonomi bangsa, yang berpuncak pada penjelmaan sebuah masyarakat adil dan berkeadilan.
Tujuan masyarakat adil dan berkeadilan, mungkin, terkesan utopis.
Tiap orang barangkali punya pengertiannya masing-masing atas terma “adil” atau “keadilan”, sehingga orang-orang seringkali berselisih pandang terhadap sebuah keadaan, apakah masyarakat telah berkeadilan atau tidak.
Prinsip keadilan, dalam Pancasila, mengutip Yudi Latif (“Negara Paripurna”, 2011), bermakna membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan dan penderitaan.
Itulah mengapa sila kelima Pancasila berwatak sosial. Prinsip keadilan dalam Pancasila, pada pokoknya, merupakan inti dari moral ketuhanan, landasan pokok peri-kemanusiaan, ikatan persatuan, dan dimensi kedaulatan rakyat (Latif, 2011).
Gagasan keadilan dalam Pancasila berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, meskipun tidak terbatas semata pada orientasi ekonomis itu. Dalam hal ini, gagasan keadilan tersebut terkait pula dengan usaha emansipasi dalam kerangka pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap harta benda, pemuliaan martabat kemanusiaan, penumbuhan solidaritas kebangsaan, dan penguatan daulat rakyat (Latif, 2011).
Dalam rangka realisasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu, para pendiri bangsa ini menyebutkan urgensi peran negara. Oleh sebab itu, negara Indonesia pada hakikatnya dibentuk untuk menjadi negara sosial atau negara kesejahteraan, bukan negara liberal.
Negara sosial, dalam pemikiran para pendiri bangsa, adalah negara yang bertanggung jawab mengelola pembagian kekayaan negara supaya rakyat menikmati hasil dari penyelenggaraan sumber daya yang ada dalam wilayah Indonesia.
Berbeda dengan bentuk negara liberal, yang meminimalkan atau meniadakan peran negara dalam distribusi kekayaan, negara sosial tetap mengakui hak milik pribadi, tapi hak milik pribadi harus memiliki fungsi sosial. Artinya, negara sosial tidak mematikan partisipasi individu atau publik, melainkan mendukung usaha masyarakat atau inisiatif individu.
Perlu diperhatikan di sini, mengutip Magnis-Suseno (“Etika Politik”, 2016), bentuk negara sosial yang didambakan para pendiri bangsa bukanlah bentuk negara sosialis. Negara sosialis adalah negara yang melarang modal produktif dikuasai oleh orang perseorangan atau sekelompok orang, sehingga alat-alat produksi dan sumber daya lainnya dimiliki oleh negara atau dikuasai langsung oleh buruh-buruh yang mengerjakannya.
Negara sosial, karena itu, tak identik dengan negara sosialis.
Merealisasikan keadilan sosial berarti membongkar atau mengubah struktur-struktur ekonomi, politik, sosial, budaya, dan ideologi yang selama ini telah membuat segolongan orang tidak dapat memperoleh hak mereka atau tidak mendapatkan bagian yang wajar dari kekayaan negara atau hasil pekerjaan masyarakat sebagai keseluruhan (Magnis-Suseno, 2016).
Pendeknya, “sejak awal, para pendiri bangsa ingin menempatkan sistem ekonomi dan keadilan dalam titik keseimbangan antara peran negara (sosial) dan peran individu (swasta), hak dan kewajiban, serta antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya,” (Latif, 2011).
Namun, menatap dan merasakan langsung manis-getir tanah air Indonesia kini, kondisi negeri ini belumlah selaras dengan hasrat pendiri bangsa puluhan tahun lalu. Ide keadilan sosial masih termarginalkan dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Perlu kerja keras dan usaha bersama menggapai kepentingan publik, bukan kepentingan diri dan golongan.
Faisal Djabbar
Pemerhati Kebijakan Publik