Logo-im57

Daftar Isi

Bias Jabatan Publik

Saya kerap tertegun dengan jabatan publik. Dia hampir selalu bersanding erat dengan kekuasaan. Pemegang jabatan publik merasa dirinya berkuasa. Kekuasaan pada jabatan publik sesungguhnya semata alat untuk menjalankan fungsinya. Tugas, tanggung jawab, dan wewenang, bertujuan publik, bukan demi kuasa itu sendiri.

Dari manakah datangnya kekuasaan? Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggirnya edisi 2 Oktober 1976, menulis, bila di sebuah gunung di daerah Kedu ada orang bersemedi dengan harapan jadi presiden, yang nantinya diperoleh tanpa perjuangan panjang mendapatkan kepercayaan rakyat, hal itu agaknya tak perlu mengagetkan. Kursi jabatan publik di negeri ini kadang diduduki tanpa peluh.

Kekuasaan, atau kedudukan publik, ungkap Mas Goen, hampir mendekati sejenis kesaktian. Kekuasaan, yang berdampingan intim dengan jabatan publik, pun dipandang sebagai sesuatu yang “melekat” pada pribadi, bukan suatu syarat yang perlu ada pada suatu jabatan atau institusi untuk dapat bekerja.

Sebuah kalimat dari Ki Ageng Suryomentaram, putra dari Hamengkubuwono VII, seperti dikutip Goenawan Mohamad (Catatan Pinggir, 11 Juni 1977), patut dihayati: “Apabila kepentingan kekuasaan itu landasannya salah, maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal, orang berkuasa atau dipercaya itu disebabkan karena ia mengenakkan orang lain.”

Terma “mengenakkan” dari Ki Ageng Suryomentaram, menurut tafsiran saya, serupa dengan makna “menentramkan”, “menyamankan”, atau “menenangkan”. Kedudukan publik seyogianya melambangkan suatu urusan dengan kehendak mengenakkan kawula. Ki Ageng Suryomentaram kabarnya meninggalkan kehidupannya sebagai pangeran dan menjadi petani serta pecinta kebijaksanaan.

Di Minangkabau, Sumatera Barat, misalnya, pada abad ke-14 hingga abad ke-16, kekuasaan raja dibatasi. Ia harus tunduk pada keadilan dan kepatutan: “rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut.” Raja sejati, di dalam alam budaya Minagkabau, wajib bertitik pusat pada alur dan patut. Alur bermakna logika atau kesesuaian berpikir. Patut bermakna keadilan. Alur dan patut menjadi pemutus akhir, sehingga keputusan seorang raja akan ditolak apabila berseberangan dengan pikiran akal sehat (logika) dan prinsip-prinsip keadilan (Tan Malaka, 2005, dikutip dari Yudi Latif, 2014).

Di dunia bisnis dan perbankan, sampai hari ini para bankir masih terkesan dengan setidaknya dua orang: Robby Djohan dan Asmawi Syam (Idris, 2023).

Robby Djohan adalah legenda. Orang yang bekerja atau pernah berkarir di sebuah bank setidaknya pernah mengenal Robby Djohan. Dia adalah pembangun Bank Niaga, yang sekarang sudah melebur menjadi Bank CIMB Niaga. Kemudian, Robby Djohan sempat pula ditugaskan mengawal penggabungan empat bank pelat merah, yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia, menjadi Bank Mandiri. Beliau pun pernah menangani krisis di BUMN Garuda Indonesia, ketika pada 1998 perusahaan tersebut terancam bangkrut.

Lahir pada 1938, Robby Djohan wafat pada 2016. Dia merupakan salah satu the best corporate leader negeri ini. Robby Djohan sangat piawai memutar haluan bisnis sebuah perusahaan untuk kemudian dapat bertumbuh pesat. Mereka yang pernah bergiat bersamanya, atau paling tidak mengenalnya, mengingat beliau sebagai orang yang tegas, tidak basa-basi, bicara blak-blakan, tapi egaliter dan dapat dipercaya.

Asmawi Syam adalah juga kisah penuh perjuangan seorang pemimpin. Beliau adalah seorang bankir dengan pengalaman kerja 37 tahun di BRI sejak dari staf sampai menjadi Direktur Utama. Asmawi Syam pernah mengatakan, untuk memiliki kualitas kepemimpinan yang hebat, seseorang harus terlebih dahulu mempunyai kapasitas followership yang baik. “Banyak orang mengaku sebagai pemimpin, tapi nyatanya hanya mendapatkan pengakuan sebagai atasan,” ujarnya.

Asmawi Syam (2019) mengatakan, “saya meyakini, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang berkelanjutan, yang didukung dengan kreativitas dan inovasi, yang beriringan dengan integritas yang tidak boleh dipertukarkan dengan apa pun juga.” Dalam dunia bisnis, lanjutnya, rasa takut itu tak hanya dapat dikalahkan oleh mentalitas yang kuat, tapi juga diperlukan kapasitas dan kapabilitas untuk memitigasi risiko dan mengambil langkah-langkah penyelesaian masalah yang strategis supaya bisa memenangkan persaingan.

Seorang bankir, kata Asmawi Syam (2019), harus jeli melihat peluang supaya tidak gampang menyerah saat melihat regulasi yang menghadang di depan. Tentu saja, bukan hanya tantangan regulasi perbankan, melainkan pula kemampuan memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk memajukan bank.

Satu karakter mendasar seorang pemimpin adalah harus dapat dipercaya. Supaya seorang pemimpin dapat dipercaya, paralel dengan uraian Robby Djohan (2016), dia perlu mempunyai 2 (dua) dimensi kecakapan. Satu, dia memiliki visi yang kuat dan integritas. Dua, dia mampu merealisasikan visinya tersebut. Dengan adanya visi, seorang pemimpin dapat menggambarkan arah dan sasarannya kepada pengikutnya, yang disertai tumpuan integritas. Dengan tindakan, seorang pemimpin berjalan mengelola perusahaan secara apik, fokus pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan berdaya guna untuk menciptakan masa depan yang diinginkan.

Jabatan publik tentu bukan arena bermain kekuasaan. Pemegang jabatan itu mesti bergiat dan bergelut rutin dengan tantangan keseharian dan perkara kepublikan.

Itu mungkin kiranya yang dipikirkan Mas Goen atas sebuah kedudukan publik: “saya belum pernah jadi seorang presiden, tapi dapat saya bayangkan: seorang eksekutif di pucuk itu sunyi. Tapi ini sebuah kesunyian yang berlangsung selama 30 menit setiap habis sarapan. Sesudah itu masuk laci. Seorang presiden bergerak dengan sebuah organisasi. Ia punya strategi, dan ia menyusun langkah untuk mencapai strategi itu. Ia merencanakan. Ia akan memanggil stafnya. Ia akan berembuk dengan mereka. Ia akan menimbang mana langkah yang paling efisien. Ia akan mendengarkan dua atau tiga alternatif. Ia akan memilih, setelah membahas soal logistik: seberapa tenaga dan dana diperlukan untuk menjalankan kebijakan itu. Ia akan memperhitungkan waktu. Kemudian ia akan memutuskan. Dan secara periodik, ia akan mengecek, seberapa jauh tindakan yang diambil itu berbuah, sejauh mana gagal, dan kenapa.”

“Bagaimanapun, posisi itu adalah posisi politik. Politik selalu menyangkut urusan orang ramai. Percakapan pun jadi amat penting. Seorang presiden perlu berembuk dengan pemilihnya. Ia perlu membujuk. Ia juga perlu bersedia dibujuk. Ia harus meyakinkan, sebagaimana ia juga bisa diyakinkan” (Catatan Pinggir, 28 Mei 2001). Jabatan publik berkaitan dengan urusan orang banyak.

Jabatan publik, karenanya, tak elok diserahkan kepada orang yang melekatkan kuasa pada pribadinya. Saat duduk, muncul potensi besar, makna “publik” sirna, tersisa hanya “jabatan” dengan wewenangnya. Plato (427 SM – 347 SM) mengajarkan, pemimpin sejati justru tidak dimotivasi oleh kehendak untuk berkuasa. Pokok pangkal seseorang menjadi pemimpin (atau, pejabat publik) bukanlah atas nafsu tak terkendali untuk berkuasa.

Faisal Djabbar

Direktur Riset IM57+ Institute

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Publikasi Lainnya