Daftar Isi

Surat Sakti untuk Bekal Plesiran Istri Menteri

Barangkali memang benar, dalam negeri yang terlalu lama diselimuti kabut kekuasaan, banyak pejabat yang tak lagi mampu membedakan mana urusan negara dan mana urusan keluarga. Termasuk ketika surat berkop kementerian mulai dipakai bukan untuk kepentingan publik, melainkan demi memuluskan rencana plesiran istri pejabat ke Eropa, lengkap dengan permintaan agar difasilitasi oleh duta besar negara sahabat.

Surat itu viral. Bukan karena urusan kenegaraan yang strategis, melainkan karena isinya menyentil nalar publik, sudah terlalu sering jabatan publik dijadikan karpet merah untuk kenyamanan pribadi dan keluarga.

Inilah wajah muram dari sebagian elite yang tengah diberi amanah, namun alih-alih bersikap bijak, justru memperlakukan kekuasaan seolah harta warisan. Padahal kekuasaan itu bukan hak milik. Ia adalah titipan. Amanah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Seperti nasihat bijak orang-orang tua, “yang dititipi semestinya lebih takut, karena tanggung jawabnya dua kali lipat, kepada rakyat dan kepada Tuhan”.

Mari kita menengok sejenak ke masa lampau. Ada satu nama yang selalu menjadi rujukan dalam soal integritas kekuasaan: Umar bin Abdul Aziz. Seorang khalifah yang hanya memerintah selama dua tahun, tapi warisannya tentang kepemimpinan bersih tetap relevan hingga kini.

Suatu malam, ketika Umar tengah bekerja di ruangannya, datanglah sang anak ingin berbicara. Umar bertanya, “Ini urusan negara atau urusan keluarga?”
“Urusan keluarga,” jawab sang anak.

Mendengar itu, Umar meniup lampu yang menyala. Ketika anaknya bertanya keheranan, ia menjelaskan, “Lampu ini dinyalakan dengan minyak negara. Jika kita berbicara soal keluarga, maka aku akan menyalakan lampu lain yang minyaknya aku beli sendiri.”

Umar mungkin tidak mengenal istilah good governance. Tapi ia menghayatinya lebih dalam daripada banyak pejabat modern yang menggunakannya sekadar jargon. Ia paham bahwa batas antara kepentingan publik dan pribadi bukan garis samar, melainkan pagar tegas yang harus dijaga kehormatannya

Hari ini, sebagian pemimpin kita mungkin tak perlu memadamkan lampu minyak. Tapi mereka perlu memadamkan hasrat untuk menyelundupkan urusan keluarga ke dalam ranah jabatan. Perlu menahan diri dari kebiasaan menjadikan kop surat negara sebagai surat pengantar keistimewaan pribadi.

George Orwell, dalam Animal Farm, pernah menulis, “All animals are equal, but some animals are more equal than others.”

Sebuah sindiran getir tentang bagaimana kekuasaan yang tak diawasi akan berubah menjadi alat istimewa bagi segelintir orang, termasuk untuk mengistimewakan dirinya dan keluarganya di atas kepentingan rakyat.

Di negeri ini, terlalu banyak orang pintar, tapi tak banyak yang tahu malu. Terlalu banyak bicara soal integritas, tapi enggan bersikap tegas saat tergoda kenyamanan pribadi. Kita sudah terlalu lama hidup dengan pejabat yang merasa dirinya raja kecil, padahal jabatan hanyalah sarana untuk melayani, bukan dilayani.

Umar bin Abdul Aziz telah lama wafat. Tapi jejaknya tak pernah benar-benar hilang. Justru hari ini, bangsa ini butuh pemimpin yang, meski tak sempurna, masih bisa membedakan mana yang milik negara, dan mana yang milik keluarga sendiri.

Karena bila garis itu terus dibiarkan kabur, jangan kaget jika suatu hari surat dinas untuk antar jemput cucu pun diterbitkan, dengan tembusan ke seluruh rakyat Indonesia.

Rakyat yang lagi-lagi diminta bersabar. Dan bersabar.


Aulia Postiera
(Penggiat Antikorupsi IM57+ Institute)

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *