Logo-im57

Daftar Isi

Urgensi Integritas Pelaporan Keuangan: Sekadar Pengingat

Di Indonesia, terdapat beberapa kasus kecurangan atau manipulasi pelaporan keuangan. Kasus-kasus itu di antaranya adalah pada PT Garuda Indonesia, Tbk, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Asabri.

Manajemen PT Garuda Indonesia mencatatkan potensi pendapatan dari kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi. Pendapatan ini sesungguhnya belum secara aktual terealisasi. Tujuannya adalah agar nilai laba perusahaan terlihat tinggi, sehingga Manajemen memperoleh tantiem yang relatif besar.

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) gagal membayar polis asuransi nasabah. Hal ini karena adanya kesalahan pembentukan harga produk JS Saving Plan yang ditawarkan dengan jaminan return antara 9 persen hingga 13 persen sejak 2013 hingga 2018 dengan periode pencairan setiap tahun. Selain itu, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi juga menekan likuiditas Jiwasraya.Tekanan likuiditas dari produk JS Saving Plan yang berakibat pada penurunan kepercayaan nasabah. Dan, yang terakhir karena adanya rekayasa harga saham.

PT Asabri melakukan manipulasi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi, yang merugikan keuangan negara hingga Rp23,7 triliun.

Dari sejumlah kasus kecurangan atau manipulasi pelaporan keuangan tersebut, muncul kesadaran bersama untuk menciptakan pelaporan keuangan yang benar, akurat, dan transparan. Benar bermakna pelaporan sesuai sebagaimana mestinya dan tidak ada kesalahan penyajian yang material, sehingga dapat diandalkan. Akurat bermakna pelaporan menyampaikan informasi yang netral atau bebas dari bias kepentingan. Transparan bermakna pelaporan dapat diakses oleh pelbagai pihak dan telah mencakup seluruh informasi yang relevan.

Di samping itu, guna menciptakan pelaporan keuangan yang benar, akurat, dan transparan, perlu penerapan sistem Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan atau Internal Control Over Financial Reporting (ICOFR). Secara umum, ICOFR merupakan serangkaian kebijakan dan prosedur yang didisain untuk menjamin keandalan pelaporan keuangan perusahaan.

ICOFR mencakup kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, pemeliharaan dokumentasi yang terperinci, akurat, dan secara wajar mencerminkan transaksi dan disposisi aset. Kedua, memberikan keyakinan memadai bahwa transaksi dicatat sebagaimana mestinya, di mana penerimaan dan pengeluaran dilakukan sesuai kewenangan Manajemen dan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola. Ketiga, memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencegahan, deteksi, atau koreksi yang tepat waktu atas perolehan, penggunaan, atau pelepasan aset yang tidak diotorisasi yang dapat berdampak material terhadap pelaporan keuangan.

Lebih lanjut, penerapan ICOFR tak akan berjalan efektif tanpa adanya perilaku berintegritas dari Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, Pegawai, termasuk Pemegang Saham dan Pemegang Saham Pengendali.

Jadi, pelaporan keuangan harus berlandaskan pada 2 (dua) aspek. Pertama, adanya penerapan kebijakan dan prosedur pengendalian internal atas pelaporan keuangan. Kedua, adanya integritas dari seluruh pemangku-kepentingan dalam perusahaan.

Berdasarkan basis pemikiran di atas, di sektor perbankan, terbentuklah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 15 Tahun 2024 tentang Integritas Pelaporan Keuangan Bank.

POJK Nomor 15 Tahun 2024 mendesak penerapan tata kelola dan pengendalian internal dalam proses pelaporan keuangan Bank. Pelaporan keuangan terdiri atas informasi keuangan dan laporan keuangan. Informasi keuangan adalah informasi berupa angka dan rasio keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Lalu, laporan keuangan adalah laporan mengenai posisi keuangan dan kinerja keuangan yang disusun oleh Bank, baik berupa laporan keuangan lengkap ataupun ringkas.

Dalam praktiknya, informasi keuangan dan laporan keuangan sesungguhnya bersumber dari pencatatan transaksi oleh unit kerja terkait. Maka, unit kerja ini menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, Pengurus Bank harus memaksimalkan kompetensi para pegawai di unit kerja terkait, termasuk dalam hal peningkatan kemampuan unit kerja mengendalikan risiko, khususnya risiko operasional.

Pada sisi lain, salah satu komponen penting dalam penerapan integritas pelaporan keuangan adalah sistem teknologi informasi (TI). Hal ini karena kecanggihan TI sangat berguna dalam proses pengolahan data transaksi keuangan. Maka, dalam konteks itu, Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) Bank harus memiliki Analis Risiko TI. Lalu, Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) harus juga mempunyai Auditor TI.

Analis Risiko TI dan Auditor TI harus diikutsertakan dalam setiap pengadaan sistem TI, seperti pengadaan Core Banking System, misalnya. Hal ini guna memastikan bahwa sistem TI Bank telah sesuai dengan ketentuan dan standar TI yang berlaku, di mana salah satunya mengenai System Development Life Cycle (SDLC).

Selain itu, sebagaimana ketentuan POJK Nomor 15 Tahun 2024, Bank perlu memiliki prosedur pemeliharaan catatan atas transaksi keuangan, sehingga pelaporan dapat merefleksikan data transaksi yang wajar dan akurat. Dengan demikian, Bank sesungguhnya memerlukan unit kerja yang khusus menangani administrasi pendokumentasian, salah satunya administrasi kredit.

Catatan utama yang perlu digarisbawahi kembali di sini adalah urgensi pengawasan dari Manajemen Puncak Bank. Integritas pelaporan keuangan Bank bersumber terlebih dahulu dari komitmen dan tindakan Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Pejabat Eksekutif. Termasuk dalam hal ini adalah dukungan kuat dari para Pemegang Saham.

Meskipun begitu, terdapat sejumlah tantangan dalam upaya menerapkan integritas pelaporan keuangan, baik di sektor perbankan maupun sektor lainnya.

Pertama, lemahnya pencatatan data dan infrastruktur pendukungnya. Hal ini timbul karena integritas sumber data yang rendah: data tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak dapat diandalkan. Lalu, kurangnya pengetahuan untuk mendeteksi adanya permasalahan dalam pengelolaan data. Dan, adanya penggunaan spreadsheet Excel/EUC/solusi taktis lainnya secara ekstensif, yang mengakibatkan peningkatan risiko kesalahan pengolahan dan penyajian data.

Kedua, lemahnya tata kelola dan minimnya pengendalian internal. Hal ini timbul karena Manajer Senior tidak berperan aktif dalam penyusunan tata kelola dan pengendalian internal terhadap pelaporan. Selain itu, pengawasan, akuntabilitas, dan tanggung jawab dalam proses penyusunan dan pelaporan tidak berjalan optimal. Lalu, tanggung jawab atas persetujuan laporan tidak diatur dalam kebijakan dan atau prosedur yang memadai. Dan, kurangnya pengawasan dan pengendalian internal yang independen terhadap proses pelaporan.

Ketiga, lemahnya regulasi dan rumitnya proses pelaporan karena rendahnya sumber daya yang memadai. Hal ini timbul karena interpretasi yang tidak akurat terhadap ketentuan regulator. Selain itu, kurangnya pemahaman terkait regulasi baru oleh lini kedua dan ketiga dalam struktur pelaporan. Dan, kompetensi sumber daya manusia yang tidak memadai.

Keempat, kualitas dokumentasi yang buruk. Hal ini timbul karena dokumentasi atas sistem, proses, dan data tidak mencukupi. Selain itu, kurangnya dokumentasi audit trail atau jejak audit (catatan kronologis dari semua aktivitas dan transaksi, termasuk siapa yang melakukannya, kapan, dan bagaimana perubahan atau revisinya). Lalu, kurangnya dokumentasi mengenai proses reviu dan fungsi pengawasan secara independen. Dan, kurangnya dokumentasi atas prosedur pembuatan laporan, sehingga proses pelaporan bergantung pada key person tertentu.Walhasil, kemestian atas integritas pelaporan keuangan menjadi sesuatu yang amat mendesak.

Faisal Djabbar

Direktur Riset IM57+ Institute

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Publikasi Lainnya