Tahun 2010 sampai 2011 lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengambil program S2 dengan beasiswa dari pemerintah Australia. Saya mengambil Kebijakan Publik di The Australian National University (ANU), Canberra.
Bagi saya, pengalaman sekolah di negeri orang adalah cermin. Saya kerap membandingkan tanah nusantara dengan negara di mana saya belajar. Tidak hendak mencela negeri sendiri, tapi saya menyaksikan dan mengalami langsung bahwa Indonesia memang tertinggal cukup jauh: disiplin warga, pendidikan, layanan kesehatan, ketersediaan ruang-ruang publik, transportasi umum.
Meskipun begitu, bagi saya, tetap saja, Indonesia adalah miniatur surga. Indonesia bagaikan jamrud di lintasan garis katulistiwa. Negeri ini dikaruniai limpahan tambang dan mineral. Juga kekayaan hayati dan ber-aneka-ragam sumber energi.
Lantas, tidak ketinggalan pula keindahan alam nan elok. Sumber daya alam siap memakmurkan bangsa ini. Sumber daya alam yang penuh berjubel yang berada di atas maupun di bawah perut bumi nusantara. Anugerah mulia yang memayungi bangsa Indonesia.
Kita mafhum, rakyat Indonesia sudah memberi kepercayaan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Dengan sumber daya alam yang dikuasainya, negara wajib mengelolanya demi menghasilkan pendapatan keuangan negara yang optimal.
Negara juga selanjutnya wajib mendistribusikan uang negara kepada masyarakat, secara adil dan merata. Hal ini agar tercipta masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Tetapi, saya memandang, Indonesia justru adalah paradoks. Dengan kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia justru banyak berpenduduk miskin. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), sampai Maret 2023, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta jiwa. Jumlah ini belum memasukkan jumlah orang yang rentan miskin.
Maka, bila menghitung keseluruhannya, orang miskin di Indonesia sebenarnya mencapai 50 persen penduduk negeri ini. Paradoks ini timbul salah satunya karena buruknya pengelolaan sumber daya alam kita. Pemerintah tunduk dan rela dimanfaatkan oleh pihak asing. Bagaimanapun, pemerintah turut menyumbangkan saham dalam bangkrutnya bangsa ini.
Indonesia memang menjadi sebuah ironi. Bangsa yang kaya dan telah merdeka selama 78 tahun ini, keadaan ekonomi dan sosialnya masih relatif memprihatinkan. Tingkat Pengangguran Terbuka, sampai Agustus 2023, mencapai 7,85 juta jiwa dari sekitar 147,71 juta angkatan kerja (BPS, 6 November 2023).
Beberapa waktu lalu, sebuah berita di majalah Tempo pada bulan Desember 2006 melaporkan, seorang bayi di Jawa Tengah lahir tanpa kedua kaki di bale rumahnya. Si bayi lahir tidak di rumah sakit, karena kedua orangtuanya tidak sanggup membayar biaya rumah sakit. Sewaktu hamil pun sang ibu tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit. Dinas kesehatan setempat memperkirakan, saat hamil sang ibu kekurangan nutrisi.
Pada sisi lain, Indonesia malah menjadi importir sejumlah bahan pangan di tengah-tengah tanah yang subur. Apa yang salah dengan lingkaran kebijakan di Indonesia?
Saya sangat sadar, untuk melaksanakan kewajiban distribusi hasil pengelolaan sumber daya alam dengan baik, negara membentuk institusi-institusi negara. Lahirlah institusi pelayanan publik. Institusi ini berwenang melaksanakan tugas umum pemerintahan. Tugas utama institusi pelayanan publik adalah melayani berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Namun, harus diakui, tugas utama institusi pelayanan publik kurang berjalan. Kondisi ini timbul karena masih bobroknya kualitas birokrasi pelayanan publik. Birokrasi mempersepsikan dirinya sebagai penguasa. Karena merasa sebagai penguasa, birokrasi musti dihormati dan dilayani. Birokrasi menempatkan masyarakat sebagai orang-orang yang butuh bantuan. Kualitas pelayanan publik masih menjadi masalah bagi negeri ini.
Oleh sebab itu, menurut saya, pemerintah yang terpuji sesungguhnya adalah pemerintah yang melayani publik dengan baik. Pemerintah yang memerhatikan rakyatnya. Pemerintah yang mengelola secara maksimal sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Karenanya, prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance menjadi unsur penting yang harus diterapkan.
Saya memimpikan sebuah Indonesia yang dipimpin orang-orang yang berpikir dan bertindak bagi rakyat keseluruhan. Bukan orang yang ingin kaya dan jaya bagi dirinya dan kelompoknya. “Kehidupan berbangsa di Indonesia saat ini dikooptasi oleh kekuatan dan pengaruh politik Machiavellian yang begitu kuat di segala lini. Politik hanya berhenti di kekuasaan dan gagal mendistribusikan kesejahteraan kepada khalayak ramai. Kebajikan kolektif telah lumpuh”, tulis Yudi Latif dalam artikelnya di Kompas, 11 Maret 2013, halaman 4.
Politik, ungkap Yudi Latif, berhenti dan stagnan pada semata politik kekuasaan. Kondisi ini yang menyebabkan belum teraktualkannya politik sebagai sebuah kebijakan untuk mendistribusikan kesejahteraan.
Saya mengidamkan sebuah Indonesia yang teratur dan rapi. Barangkali orang akan berkata mimpi ini cuma angan-angan. Mungkin banyak orang Indonesia sendiri yang bakal berdalih bahwa visi saya ini sulit terwujud. Negara komunis idaman Karl Marx pun sukar bertahan dan tak lestari.
Tapi, apakah sesungguhnya tujuan kita sebagai bangsa? Bila jumlah rakyat miskin meningkat dan kesempatan beranjak dari tangga kemelaratan ke tangga yang lebih tinggi sulit diperoleh, lalu buat apa kita bernegara?
Cita-cita Soekarno mungkin hanyalah menjadi simbol dan angin lalu. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semata kalimat pemanis yang keluar lancar dari politisi saat pemilu, lalu setelah itu rakyat ditinggalkan dan dilupakan. Rakyat kemudian sekadar bermimpi akan datangnya ratu adil dan keadilan sosial.
Karena itu, buat saya, pendidikan bagi seluruh warga negeri merupakan proses penyadaran diri untuk pada saatnya berbuat lebih bagi bangsa.
Faisal Djabbar
Direktur Riset IM57+ Institute