Sebuah artikel muncul di harian Kompas, pada 10 Mei 2014. Artikel ini ditulis oleh Joko Widodo, yang waktu itu merupakan Calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Judul artikel ini adalah Revolusi Mental.
Penggunaan istilah ”revolusi”, tulis Joko Widodo, tidaklah berlebihan. Sebab, menurutnya, bangsa Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik. Sebuah terobosan untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang.
Lantas, Joko Widodo bertanya: dari mana kita harus memulainya? Jawabannya, ungkap Joko Widodo, dari masing-masing kita sendiri. Revolusi mental dimulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Delapan tahun kemudian, tepatnya 14 Juni 2022, Kwik Kian Gie menulis di harian Kompas. Artikelnya diberi judul Revolusi Mental.
Kwik Kian Gie bertanya: mental apa yang diutamakan oleh Joko Widodo ketika menggunakan kata-kata revolusi mental? Menurutnya, banyak yang tidak mengetahuinya dengan pasti. Bagi Kwik Kian Gie, yang terpenting direvolusikan adalah mental yang korup, mental munafik, mental kuli. Mental korup tidak terbatas pada mencuri uang, tetapi juga pikiran yang korup (corrupted mind).
Terutama dalam bidang tata nilai, mental, moralitas, dan akhlak, apakah setelah 77 tahun merdeka dari penjajahan, tanya Kwik Kian Gie, kita lebih maju atau lebih mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun lalu mengatakan bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita?
Beberapa gelintir orang, ujar Kwik Kian Gie, menguasai lebih dari 80 persen kekayaan bangsa ini. Mental yang mendasarinya adalah feodalisme yang dicerminkan oleh ucapan L’etat c’est Moi (Negara adalah Aku). Indonesia bukan monarki. Maka, kata Kwik, gantinya ”Aku adalah Peng-Peng” yang berarti Aku Pengusaha dan Penguasa.
Kwik kembali bertanya: sektor manakah dari bangsa ini yang sudah berhasil diubah secara revolusioner melalui revolusi mental? Mengutip Mustofa Bisri (Gus Mus), negara ini telah menjelma ”Negara Amplop dan Negara Haha Hihi”.
Yang dibutuhkan sekarang mungkin bukan lagi revolusi mental, melainkan mental revolusi. Merujuk artikel Kwik Kian Gie (2022) itu, Bung Karno mengatakan bahwa revolusi berarti menjebol yang jelek dan membangun yang baik sebagai gantinya. Menurut Guntur Soekarno (dalam buku Catatan Merah jilid 2), revolusi adalah penjungkirbalikan seluruh tata nilai lama untuk digantikan tata nilai baru, penjungkirbalikan tata nilai lama dari akar-akarnya, dan perubahan yang cepat dari struktur masyarakat lama menjadi struktur masyarakat baru.
Sebagaimana telah sering diucapkan: integritas adalah fundamen utama penjungkirbalikan tata nilai lama yang korup dengan tata nilai baru yang amanah. Pembangunan integritas pribadi sangat penting. Tetapi, pengembangan integritas organisasi atau institusi tidak kalah urgennya.
Vandekerckhove (2008) mendefinisikan integritas organisasi dalam dua arti. Pertama, usaha-usaha dan kebijakan organisasi untuk mendukung tercapainya integritas personal atau individu. Kedua, bahwa dalam membentuk integritas organisasi harus dilihat juga pengaruh dari interaksi individu satu sama lain.
Kemudian, dalam usaha-saha atau kebijakan-kebijakan apa yang dapat membentuk integritas organisasi, Vandekerckhove (2008) mengajukan dua istilah talking the walk dan toward integrity.
Aspek pertama, talking the walk. Pembangunan pola komunikasi yang mendukung (seperti kejujuran, terbuka pada perbedaan, dan reflektif), yang diantaranya berupa implementasi komponen whistleblowing system, merupakan contoh dari talking the walk. Hal lain yang perlu dibangun adalah kesiapan untuk menyesuaikan nilai-nilai pribadi dan untuk menafsirkan nilai-nilai kolektif.
Dan, untuk melaksanakan hal ini, dibutuhkan penerimaan bahwa setiap orang dapat dinilai oleh orang lain. Penciptaan platform narasi dalam organisasi, dimana fakta-sebagai-pengalaman berbicara sebagai cerita, adalah cara lain untuk mendorong integritas pribadi, yang pada ujungnya menciptakan integritas organisasi.
Aspek kedua, yaitu toward integrity, dijelaskan dengan menekankan pentingnya organisasi mengembangkan pernyataan tertulis mengenai integritas, dan janji untuk melaksanakan integritas yang dituliskan tersebut.
Brown et al. (2005) mendefinisikan integritas organisasi dengan mengutarakan bahwa suatu institusi dikatakan berintegritas jika institusi tersebut ketika melakukan tindakan tetap konsisten sesuai dengan nilai, tujuan, dan tugas yang diemban oleh institusi tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana mengidentifikasi nilai, tujuan, dan tugas yang dipercayakan pada pemegang kuasa dalam hal ini organisasi? Seringkali hal ini secara eksplisit sudah dinyatakan dalam bentuk peraturan hukum dan atau perjanjian tertulis.
Lalu, kapan dan bagaimana mengetahui bahwa pejabat atau pelaksana tugas yang mengemban hal tersebut membenarkan langkah mereka sesuai dengan acuan standar nilai tersebut?
Brown berargumen, hal ini dapat terlihat ketika ada kontroversi terjadi atau seringkali kita berharap bahwa hal ini dapat diindikasikan dengan melihat apakah organisasi tersebut melakukan disiplin diri yang berkelanjutan melalui praktik-praktik seperti manajemen yang baik, serta adanya kepemimpinan, profesionalisme, dan refleksi diri dari individu-individu dan organisasi.
Bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu tindakan sudah sesuai dengan nilai, tujuan, dan tugas yang diemban atau tidak? Brown berpendapat, ada berbagai dan beragam proses dan kelembagaan yang mesti dapat dilihat untuk melihat apakah suatu organisasi berintegritas atau tidak bergantung pada situasi dan keadaan tertentu.
Upaya membangun bangsa dan menjaga integritas tentu saja bukan usaha singkat. Dia berkesinambungan.
Namun, “jangan pernah kau berkeluh kesah, walau kadang engkau lelah, jalankanlah hidupmu yang indah”, teriak band Naif di lagunya Hidup Itu Indah.
Faisal Djabbar
Anggota IM57+ Institute