Logo-im57

Daftar Isi

Memori Pergumulan Sumpah Pemuda

“Kesabaran adalah mawar yang merambat, lumut yang tak takluk oleh salju”, tulis Goenawan Mohamad dalam salah satu sajaknya berjudul Tidurlah, Sancho (2013). Kesabaran adalah konsistensi.

Kesabaran bergerak lurus dalam rel. Dia bagaikan sungai yang memanggul air gunung berlari menuju laut.

Kesabaran tertawan oleh teguh diri, laksana tanaman yang terus merambat. Dia anteng. Dia berkesadaran. Kesabaran yang berkesadaran itu tergambar dalam memori pergumulan Sumpah Pemuda.

Pada hari itu, 28 Oktober 1928, berbarengan penutupan Kerapatan Besar Pemuda. Para pemuda yang berasal dari beragam daerah di Nusantara tersebut telah berkumpul di satu ruangan. Kerumunan pemuda ini beramai-ramai memekikkan sumpah historis. Mereka sepakat melebur: menjadi Indonesia; bertekad merangkum rakyat pribumi dalam satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.

Sejak itu, mengutip sejarawan Taufik Abdullah (1995), kesadaran kebangsaan Indonesia menjadi konteks fundamental dari segala perdebatan dan pergumulan pemikiran sosial-politik. Sejak itu pula nasionalisme-kultural yang bersifat etnis dan mitologis mulai tersingkir dalam pemikiran sosial politik Indonesia.

Ketika sumpah dimaklumkan ke tiap penjuru, kaum tua dan pejabat-birokrat memandangnya sebagai angin lalu. Cuma kaul anak muda tak ada artinya. Tidak ada hal urgen dari nazar itu. Namun nyatanya sumpah pemuda 1928 menggema luas. Berdampak dominan pada pertumbuhan kebangsaan Indonesia.

Sejarah tiap bangsa adalah sejarah kaum muda. Gerakan pemuda tak pernah hilang dari guratan buku-buku sejarah dunia. Rusia merambah tahap mendebarkan sebagai bangsa ketika penganut muda sosialisme Vladimir Ilyic Ulyanov, atau Lenin, giat merakit ikhtiar politik. Di belahan lain dunia, di Amerika Serikat, dasawarsa 1970-an, anak muda AS, yang menamakan diri flower generation, berhimpun menunjukkan penolakan mereka atas perang Vietnam dan wajib militer. Mereka menawarkan solusi humanistik dan alternatif perdamaian.

Di Indonesia, 20 Mei 1908, mahasiswa sekolah tinggi kedokteran STOVIA mencetuskan Boedi Utomo. Organisasi Boedi Utomo berperan aktif awal pergerakan nasional. Pada tahun 1926, Soekarno muda menulis Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Gagasan dialektik Soekarno ini meronai arus pemikiran intelektual muda pergerakan nasional.

Lantas, selepas sumpah pemuda 1928, peran kaum muda berlanjut saat memanasnya suhu politik tahun 1945. Menjelang proklamasi, sebelas orang pemuda yang dikenal dengan kelompok sebelas, terdiri atas Chaerul Saleh, Johar Noer, Wikana, Parjono, Abu Bakar, Sudewo, Armansyah, Subadio, Suroto, Kunto, dan DN Aidit, membopong Soekarno ke Rengasdengklok (Murad Aidit, Aidit Sang Legenda, 2005). Mereka memaksa Soekarno segera memproklamirkan independensi Indonesia.

Lantas, pada 1966 kaum muda mendobrak tatanan lama. Angkatan 66 sukses mengkreasi era Indonesia baru: orba. Namun, mabuk kemewahan melanda penguasa orba seiring berhasilnya agenda pembangunan. Tingkat ekonomi menjulang bersamaan ganasnya perilaku korupsi. Tahun 1974 dan 1978 segelintir mahasiswa berjuang mengembalikan laju rezim orba ke rel lempang. Mereka mendambakan pemerintahan yang bersih, terbuka, bebas korupsi.

Akhirnya orba runtuh di tahun 1998. Lagi-lagi oleh kaum muda dan mahasiswa yang muak perilaku menyimpang: korupsi yang akut, birokrasi yang sakit, totaliterianisme, dan pembiaran pemiskinan rakyat.

Sebelum, selama, dan sesudah kemerdekaan, kaum muda berkontribusi besar di dalamnya. Kebangkitan nasional 1908, sumpah pemuda 1928, angkatan 66, aksi mahasiswa 1974 dan 1978, hingga gerakan reformasi 1998, sarat kiprah pemuda dan mahasiswa. Bahkan, jika patut dicatat, seorang Dipa Nusantara (DN) Aidit masih berusia 32 tahun ketika menahkodai Partai Komunis Indonesia (PKI). Terlepas kontroversi seputar PKI, pencapaian DN Aidit layak beroleh goresan tebal, sebagai cuilan ikhtiar kaum muda mewarnai sejarah negerinya.

Kaum muda adalah rumpun rakyat yang, meminjam Dostoyevsky, berani menentang moral zamannya. Pada tahun 1945 musuh kaum muda adalah penjajah. Tahun 1966 lawan kaum muda ialah penguasa tua yang rakus dan komunisme. Tahun 1974 dan 1978 dan seterusnya adalah pemerintahan orba yang totaliter dan korup. Dan bila di 1998 momok utama adalah Soeharto dan kroninya, maka pascareformasi rival sentral kaum muda sesungguhnya adalah korupsi. Ya, korupsi.

Perlawanan kaum muda terhadap korupsi memang bukan isu anyar. Sekitar tahun 1965-1966 kaum muda turun ke jalan menuntut Presiden Soekarno memakai semaksimal mungkin sumber daya guna kepentingan rakyat, dan tak mengorupnya. Di masa pemerintahan Soeharto, muncul gerakan Mahasiswa Menggugat, belakangan menjadi Komite Anti Korupsi, yang menyuarakan pemberantasan korupsi.

Saat bersamaan, gerakan serupa muncul di Bandung, berjuluk Bandung Bergerak. Awal manuver sebatas pemasangan pamflet dan menyebar brosur. Lalu beralih ke aksi massa, dialog publik, dan penggalangan dukungan partai politik. Kiprah gerakan antikorupsi era Soeharto ini mendapat dukungan merata organisasi mahasiswa. Bandung Bergerak disokong Dewan Mahasiswa (DM) ITB, DM Unpad, DM Unpar, Ikatan Mahasiswa Bandung (Imaba), PMKRI, HMI, GMKI.

Namun, perjuangan belum usai. Kaum muda dan mahasiswa masih dituntut semangatnya. Masih dituntut geloranya untuk memberantas korupsi hingga akar-akarnya. Tumpuan harap ada pada kaum muda dan mahasiswa.

Kenapa berharap pada pemuda dan mahasiswa? Kaum muda dan mahasiswa pada gilirannya tentu akan meraih tongkat estafet kepemimpinan. Bila mereka bebas korupsi, berintegritas, dan bermartabat, harapan pemihakan pada rakyat bukan hasrat melompong. Dus, cita-cita Indonesia bebas korupsi tak cuma angan.

Indonesia mengidamkan satu gerakan revolusioner kaum muda dan mahasiswa untuk melawan korupsi. Tiba saatnya kaum muda dan mahasiswa beranjak dan bersatu. Kaum muda dan mahasiswa jelas generasi otentik. Aktivis angkatan 66 Soe Hok Gie dalam satu entri catatan hariannya menulis, “Kita, generasi kita ditugaskan memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

Bangsa ini butuh kaum muda dan mahasiswa demi memerangi korupsi. Karena generasi yang mampu membasmi korupsi adalah generasi yang belum terkontaminasi korupsi. Dan itu adalah angkatan muda masa kini. Karena itu, kaum muda dan mahasiswa, yang sekarang ada di atas pentas sejarah, layak berpadu mengikis korupsi. Saatnya mengukir sejarah baru bagi kaum muda dan mahasiswa Indonesia.

Faisal Djabbar

Anggota IM57+ Institute

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Publikasi Lainnya