Skor IPK adalah Salah Satu Cerminan Buruk Kinerja Presiden dalam Pemberantasan Korupsi

Hari ini (31/01) Transparency International Indonesia (TII) memaparkan hasil Corruption Perception Index (CPI) 2022 yang menunjukan semakin terpuruknya kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Terkait hal tersebut terdapat beberapa tanggapan dari IM57+ Institute:

Pertama, kata-kata Presiden Joko Widodo terkait kerja, kerja dan kerja dalam Kampanye Calon Presiden pada 2019 yang lalu akhirnya menjadi kenyataan. Ironisnya kerja tersebut dikongkritkan Presiden Joko Widodo secara nyata melalui kerja pelemahan pemberantasan korupsi. Hal tersebut terbukti melihat skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang turun kembali ke skor 34. Penurunan skor IPK ini diikuti pula dengan turunnya komponen PRS International Country Risk Guide, PERC Asia, dan sub-komponen lain secara signifikan yang mencerminkan terpuruknya performa kinerja pemberantasan korupsi hampir di semua aspek, termasuk competitiveness yang selalu digadang-gadang dalam sektor investasi. Alih-alih melakukan berbagai upaya penguatan, Joko Widodo tidak ada hentinya mengeluarkan paket kebijakan yang secara vulgar memukul mundur kinerja pemberantasan korupsi. Pemberlakuan revisi UU KPK, tidak terungkapnya pelaku intelektual penyerangan Novel Baswedan, serta pemberhentian pegawai KPK melalui TWK dengan melanggar HAM dan maladministrasi dengan disusul semakin menurunnya kualitas kasus yang ditangani KPK adalah contoh nyata proses pelemahan tersebut. Diperburuk lagi, tontonan drama klasik dinasti politik semakin membabi buta telah bisa dilihat oleh publik secara kasat mata tanpa malu-malu lagi.

Kedua, Presiden Joko Widodo tidak menepati janji kampanye untuk memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi yang berkontribusi secara signifikan dalam penurunan skor IPK terburuk pasca reformasi. Bahkan Jokowi pernah menyampaikan akan menambah 1000 penyidik untuk memperkuat KPK. Akan tetapi, alih-alih memperkuat, pelemahan terhadap sendi-sendi anti korupsi terus dilakukan, termasuk malah mengurangi jumlah pegawai KPK melalui pemecatan. Hasilnya, saat ini janji penguatan hanya sekedar menjadi basa basi belaka.

Ketiga, narasi yang dibangun Presiden Jokowi melakukan revisi UU KPK dengan dalih memperkuat pemberantasan korupsi ternyata hanya sekedar halusinasi belaka untuk menutupi kepentingan lainnya. Pasca revisi, ternyata kondisi pemberantasan korupsi tindak kunjung membaik. Artinya, hasil IPK yang membuat Indonesia bahkan berada dibawah negara yang belajar di Indonesia menjadi bukti penguat bahwa revisi UU KPK untuk memperkuat KPK hanya merupakan halusinasi belaka. Dan hari ini faktanya pemberantasan korupsi kita melemah dan terpuruk pada titik terendah.

Keempat, apabila kondisi ini didiamkan maka akan adanya dampak yang signifikan pada sektor lainnya. Hal tersebut mengingat anti korupsi adalah enabling factor (faktor yang memungkinkan) bagi perlindungan HAM, sehatnya ekonomi, perlindungan lingkungan dan keberlanjutan. Rakyat harus menyadari bahwa narasi-narasi keberpihakan pada sikap anti korupsi tidak lebih dari kata-kata omong kosong tanpa makna. Semakin hari, semakin banyak bukti nyata bahwa rezim pemerintahan ini terus memukul mundur demokrasi dan pemberantasan korupsi.

Demikian pernyataan sikap

IM57+ Institute.

M. Praswad Nugraha

Ketua

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *