Setiap kali bulan Desember tiba dan Hari Anti Korupsi Sedunia kembali diperingati, bangsa ini seolah diminta bercermin pada dirinya sendiri. Cermin itu kadang menampilkan sisi optimistis berupa semangat perubahan, tetapi di saat yang sama memantulkan sisi gelap tentang betapa korupsi masih menjadi ancaman besar yang menggerogoti fondasi negara. Tahun berganti, pemerintahan berganti, tetapi tantangan dalam pemberantasan korupsi semakin kompleks. Korupsi bukan sekadar masalah hukum, bukan sekadar masalah ekonomi, dan bukan sekadar masalah kelembagaan. Korupsi adalah masalah moral, masalah budaya, dan masalah tata kelola yang membutuhkan transformasi menyeluruh.
Bukan Sekadar Angka, Tapi Kesempatan yang Hilang
Fakta yang muncul dari data terbaru menunjukkan bahwa perjalanan Indonesia masih panjang. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024 tercatat berada di angka 37 dari skala satu sampai seratus. Angka ini memang mengalami kenaikan dari posisi 34 pada tahun 2023, namun masih berada jauh di bawah rata rata global dan masih tertinggal dari sebagian besar negara tetangga yang berhasil membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Dalam pandangan banyak ahli, angka tersebut belum mampu menandakan perubahan struktural, karena masih berada dalam kategori skor yang menunjukkan masalah serius. Dengan kata lain, korupsi masih dipersepsikan sebagai fenomena yang nyata, merata, dan berulang.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) pada tahun 2024 justru menurun menjadi 3,85 dari skala 5. Penurunan ini adalah sinyal kuat bahwa tantangan pemberantasan korupsi bukan hanya berada pada level kebijakan dan institusi, tetapi juga berada pada level perilaku masyarakat sehari hari. Ada kesenjangan antara harapan publik akan negara yang bersih dengan perilaku nyata dalam keseharian, baik dalam urusan layanan publik, urusan administratif, maupun interaksi sosial yang diwarnai praktik-praktik tidak etis yang dianggap lumrah. Ketika perilaku permisif masih hidup, maka ruang gerak korupsi tidak mengecil, justru semakin melebar.
Di balik angka angka tersebut, tersimpan kenyataan lebih pahit bahwa kerugian terbesar akibat korupsi bukan sekadar besarnya angka kerugian keuangan negara. Kerugian yang jauh lebih besar adalah hilangnya kesempatan. Dalam istilah ekonomi, ini dikenal sebagai opportunity loss, tetapi dalam kehidupan nyata kesempatan yang hilang itu berarti pembangunan yang tertunda, kualitas hidup masyarakat yang tidak membaik, potensi daerah yang tidak berkembang, dan masa depan yang tertahan. Setiap rupiah yang dikorupsi berarti ada anak yang kehilangan akses pendidikan layak, ada pasien yang tidak memperoleh layanan kesehatan yang seharusnya tersedia, ada desa yang gagal memiliki infrastruktur yang memadai, dan ada potensi bangsa yang menguap tanpa pernah kembali.
Konflik Kepentingan, Patronase dan Nepotisme
Korupsi tumbuh bukan karena tidak ada hukum, tetapi karena hukum sering kalah oleh kekuatan budaya yang telah berakar dalam. Konflik kepentingan, patronase, dan nepotisme adalah tiga penyakit lama yang hingga kini masih menghambat kemajuan. Dalam banyak sektor birokrasi dan politik, seseorang tidak selalu dipilih karena kompetensinya, tetapi karena kedekatannya. Jabatan publik sering berubah fungsi, bukan sebagai amanah dan tanggung jawab, tetapi sebagai alat transaksi dan balas budi. Ketika budaya seperti ini hidup, meritokrasi menjadi korban pertama, dan integritas perlahan menghilang dari ruang publik.
Budaya patronase dan nepotisme bukan hanya memperburuk tata kelola pemerintahan, tetapi menciptakan efek domino yang merusak. Aparatur yang dipilih bukan karena kompetensinya cenderung bekerja tanpa performa optimal. Mereka lebih rentan terhadap tekanan politik, lebih mudah memihak pada kepentingan kelompok, dan lebih sulit menegakkan etika di tengah situasi tidak menguntungkan. Akibatnya kebijakan menjadi tidak efektif, pelayanan publik menjadi lambat, dan ruang bagi korupsi semakin terbuka. Sistem yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat justru dikooptasi oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Inilah alasan mengapa reformasi birokrasi harus menempatkan merit system sebagai pilar utama. Merit system menjamin bahwa jabatan publik diberikan kepada mereka yang memiliki kompetensi terbaik, bukan kepada mereka yang memiliki kedekatan terbesar. Ketika merit system diterapkan secara konsisten, birokrasi menjadi lebih profesional, lebih efektif, dan lebih kuat dalam melindungi dirinya dari intervensi yang merusak. Negara negara dengan kemajuan tata kelola terbaik bukanlah negara dengan sumber daya alam kaya, tetapi negara dengan meritokrasi yang berjalan baik. Mereka membuktikan bahwa sumber daya manusia yang profesional adalah fondasi utama bagi pemerintahan yang bersih.
Pentingnya Teladan dari Atas
Namun semua itu tidak bisa tercapai tanpa peran penting pemimpin. Integritas institusi sangat ditentukan oleh tone from the top atau teladan dari atas. Bila pemimpin ingin institusinya bersih, maka ia harus terlebih dahulu menunjukkan bahwa integritas bukan sekadar slogan, tetapi komitmen nyata dalam tindakan. Kebijakan yang baik tanpa teladan kepemimpinan akan berhenti di atas kertas. Pengawasan yang ketat tanpa kejujuran pemimpin akan menjadi sia sia. Implementasi yang disiplin tidak akan bertahan tanpa dukungan moral dari figur teratas. Karena itulah tone from the top merupakan salah satu faktor paling penting dalam pemberantasan korupsi.
Tone from the top kemudian harus diikuti oleh kebijakan yang jelas, pelaksanaan kebijakan yang konsisten, dan pengawasan yang efektif. Ketika ketiga unsur itu berjalan beriringan, maka integritas tidak lagi tergantung pada orang per orang, melainkan menjadi bagian dari mekanisme organisasi. Inilah yang kita sebut integritas institusional. Integritas institusional membuat sebuah lembaga tetap berjalan bersih bahkan ketika orang di dalamnya berganti. Sistem yang dirancang baik akan menjaga dirinya sendiri. Ketika semua lembaga negara mampu mencapai integritas institusional, maka kita bergerak menuju Sistem Integritas Nasional, sebuah ekosistem bersih yang mampu menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan terpercaya.
Melawan Korupsi, Melindungi Lingkungan dan Kepercayaan
Mohammad Hatta, salah seorang bapak pendiri bangsa, pernah mengingatkan tentang kewajiban moral ini. Hatta menegaskan bahwa korupsi adalah penyakit dalam masyarakat yang bila dibiarkan akan merusak kehidupan bangsa. Kata-kata itu terasa sangat relevan hari ini ketika kita menyaksikan bagaimana korupsi menggagalkan banyak program pembangunan yang seharusnya menjadi hak rakyat. Hatta memahami sejak awal bahwa kemerdekaan tidak akan berarti bila Indonesia gagal melindungi diri dari korupsi.
Perjalanan pemberantasan korupsi juga membutuhkan peran pendidikan. Pendidikan adalah akar pembentukan karakter dan nilai. Anak-anak belajar tentang kejujuran bukan hanya dari buku pelajaran, tetapi dari perilaku guru, pola kepemimpinan sekolah, dan lingkungan sosial yang mereka lihat setiap hari. Ketika sekolah menjadi tempat di mana integritas hidup, maka anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang memahami bahwa korupsi bukan pilihan. Mereka tumbuh dengan keberanian moral yang kelak menjadi kekuatan kolektif bangsa. Pendidikan antikorupsi tidak bisa hanya menjadi kurikulum yang diselipkan, melainkan harus menjadi budaya yang diteladankan.
Selain itu, korupsi juga berdampak langsung terhadap lingkungan hidup. Ketika izin tambang dikeluarkan melalui suap, ketika hutan ditebang tanpa prosedur karena permainan belakang layar, dan ketika proyek pembangunan dilakukan tanpa kajian yang memadai karena adanya transaksi gelap, maka masyarakatlah yang menanggung akibatnya. Banjir, longsor, kekeringan, polusi udara, dan kerusakan ekosistem sering kali bukan semata bencana alam, tetapi jejak dari keputusan koruptif. Ruang hidup rusak, masa depan generasi berikutnya ikut hancur. Korupsi di sektor lingkungan adalah wajah paling destruktif dari kejahatan korupsi.
Dalam konteks pembangunan, bangsa ini sering mengulang kata kata Indonesia Emas. Sebuah visi tentang negara maju yang kuat, sejahtera, dan dihormati dunia. Namun tanpa komitmen serius dalam memberantas korupsi, visi itu tidak lebih dari bualan. Negara tidak akan menjadi emas bila terus kehilangan kesempatan karena anggarannya bocor. Tidak akan menjadi emas bila anak anak bangsa kehilangan akses pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan. Tidak akan menjadi emas bila pejabat publik memperdagangkan kewenangan dan merusak kepercayaan rakyat.
Kepercayaan publik adalah modal paling berharga dalam negara demokrasi. Ketika masyarakat percaya pada pemerintah, maka kebijakan berjalan lebih baik, partisipasi meningkat, dan stabilitas politik terjaga. Namun ketika korupsi merajalela, kepercayaan publik runtuh. Setiap kebijakan akan dicurigai, setiap keputusan akan dipertanyakan, dan setiap upaya reformasi akan terhambat oleh ketidakpercayaan kolektif. Negara yang kehilangan kepercayaan publik sedang berada dalam bahaya besar, karena fondasi sosialnya melemah.
Menjadikan Integritas sebagai Budaya
Meskipun gambaran yang muncul kadang terasa suram, harapan tetap ada. Perubahan besar dalam sejarah manusia selalu dimulai oleh kelompok kecil yang percaya bahwa perubahan itu mungkin. Di Indonesia, kita telah melihat banyak contoh individu dan komunitas yang menolak menyerah pada keadaan. Mereka bekerja dengan integritas, memberikan teladan, dan memperjuangkan transparansi meskipun tidak selalu mendapat sorotan media dan dukungan publik yang kuat. Mereka membuktikan bahwa integritas bukan sesuatu yang mustahil.
Hari Anti Korupsi Sedunia seharusnya menjadi momen untuk memaknai ulang perjuangan ini. Bukan sebagai seremoni tahunan, tetapi sebagai panggilan moral untuk seluruh pemimpin, birokrat, akademisi, ulama, pelajar, aktivis, dan masyarakat umum. Panggilan untuk menjaga integritas, memperkuat sistem, dan membangun budaya jujur yang berakar kuat. Perjalanan ini panjang, tetapi setiap langkah yang diambil hari ini membawa kita lebih dekat pada cita-cita bangsa.
Pada akhirnya, perjuangan melawan korupsi bukan hanya soal regulasi, sistem, atau institusi, tetapi soal keberanian kolektif untuk menghentikan pembiaran yang berlangsung begitu lama. Selama kita masih menoleransi praktik kecil yang “dianggap wajar,” selama jabatan tetap diperlakukan sebagai komoditas, dan selama kepentingan pribadi lebih sering menang daripada kepentingan publik, maka perubahan sejati tidak akan pernah terwujud. Bangsa ini tidak kekurangan aturan, tidak kekurangan lembaga, bahkan tidak kekurangan seruan moral. Yang kurang adalah ketegasan untuk memutus rantai budaya buruk yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tanpa keberanian itu, kita akan terus hidup berdampingan dengan kejahatan yang seharusnya kita lawan, seperti hantu lama yang kita pelihara sendiri. Selamat Hari Antikorupsi Sedunia
Aulia Postiera
Anggota IM57+ Institute
https://www.tempo.co/kolom/korupsi-hantu-lama-yang-kita-pelihara-2097204




