Daftar Isi

Drama Penangkapan Setya Novanto vs Putusan MA: Keadilan yang Semakin Jauh dari Rakyat

Kami menyampaikan tanggapan terkait dikabulkannya Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung atas nama terpidana Setya Novanto yang memotong vonisnya menjadi hanya 12,5 tahun penjara, sebagai berikut:

 

Publik perlu mengingat perihal latar belakang bagaimana kasus korupsi e-KTP ini ditangani. Korupsi e-KTP adalah salah satu korupsi besar dan kompleks yang pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan hanya karena alur transaksinya, tetapi bagaimana upaya Setya Novanto untuk melepaskan diri dari tanggung jawab. Dalam masa tersebut, terdapat berbagai intervensi terhadap proses penegakkan hukum. 

 

Secara personal, Setya Novanto berupaya melarikan diri, yang mana hal tersebut dilakukan ketika saya menjadi salah satu penyidik yang ditugaskan untuk menangkapnya ketika berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) pada tahun 2017. Pada masa tersebut, melalui upaya yang tidak biasa, kami pada akhirnya berhasil menangkap Setya Novanto di RS Medika Permata Hijau dengan cara yang tidak mudah karena terdapat beberapa upaya dari pihak pengacara, maupun dokter untuk berupaya menghalangi proses penegakan hukum tersebut. Bahkan, saya sampai harus bertahan didepan pintu semalaman untuk memastikan Setya Novanto tidak dapat “kabur” dari RS tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa Setya Novanto bukanlah orang biasa, tetapi memiliki peran penting sebagai political exposed person, yang meskipun KPK telah berupaya keras, justru vonisnya dipotong melalui Peninjauan Kembali (PK).

 

Pertama, keputusan ini menjadi preseden serius dan mencoreng rasa keadilan publik dalam pemberantasan korupsi kelas kakap. Setya Novanto bukan sekadar terpidana biasa, melainkan ia adalah tokoh sentral dalam mega skandal e-KTP yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Dengan mengabulkan PK dan “menyunat” vonis menjadi 12,5 tahun, Mahkamah Agung secara tidak langsung mengirim pesan bahwa pelaku korupsi besar pun dapat memperoleh keringanan hukuman, terlepas dari tingkat kejahatan dan dampaknya terhadap bangsa.

 

Kedua, publik berhak mempertanyakan dasar pertimbangan majelis hakim PK. Apakah benar ada novum (bukti baru) yang sah, ataukah pertimbangan lebih banyak didasarkan pada aspek subjektif seperti contohnya kesehatan atau usia? Dalam praktik hukum, PK semestinya bukan menjadi “jalan pintas” untuk membatalkan rasa keadilan yang telah diperjuangkan melalui proses panjang, yakni dari penyidikan, penuntutan, hingga putusan berkekuatan hukum tetap. 

 

Ketiga, putusan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi Mahkamah Agung dan sistem peradilan pada umumnya untuk mengembalikan kepercayaan publik. Ketika vonis terhadap koruptor besar malah dikurangi drastis, sementara banyak aktivis antikorupsi dikriminalisasi, maka kita menghadapi krisis keadilan yang akut. Perlu ada evaluasi menyeluruh atas mekanisme dan pertimbangan dalam pengabulan PK, termasuk transparansi proses pengambilan putusan oleh Majelis Hakim Agung.

 

Kami menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya soal memenjarakan pelaku, tetapi soal menegakkan rasa keadilan dan kepercayaan publik terhadap negara. Jika tokoh seperti Setya Novanto dengan rekam jejak korupsi yang terbukti begitu luas saja dapat memperoleh keringanan hukuman, maka jangan heran apabila masyarakat makin apatis, dan pelaku korupsi lainnya semakin berani.

 

Demikian tanggapan ini disampaikan. Jangan diam. Kawal terus peradilan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik, bukan koruptor.

 

Praswad Nugraha

Mantan Penyidik Senior KPK

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *