Logo-im57

Daftar Isi

Melawan Lupa: Perlawanan Sehormat-hormatnya

Kutipan pamungkas di halaman terakhir buku berjudul Perlawanan Sehormat-hormatnya (2022) itu sungguh menggugah. Nyai Ontosoroh berucap kepada Minke, dalam novel Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, Penerbit Lentera Dipantara, 2005), “kita telah melawan nak Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Kutipan itu tercantum dalam tulisan Tata Khoiriyah di buku itu.

Buku Perlawanan Sehormat-hormatnya merupakan kumpulan pemikiran dan kisah (mantan) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para Pegawai KPK itu disingkirkan dari organisasi yang dibelanya dengan segenap kalbu, dengan antusiasme dan spirit yang menyala. Tanggal 30 September 2021 menjadi batas akhir eksistensi mereka di KPK. Buku ini diterbitkan sebagai guratan sejarah, semacam gugatan atas kepikunan negeri ini terhadap perjuangan anak bangsa melawan pembusukan sebuah organisasi bernama KPK.

Dalih Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi cara membuang para Pegawai KPK. Kata “membuang” barangkali terkesan kasar atau vulgar dalam menggambarkan “kekejaman” Pimpinan KPK periode 2019 – 2023 (diperpanjang setahun menjadi 2024). Namun, begitulah kenyataan yang ada.

Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) adalah kewajiban asesmen bagi pegawai KPK yang akan alih status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kewajiban ini tertuang dalam Pasal 5 ayat 4 Peraturan KPK (Perkom) Nomor 01 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai Menjadi Aparatur Sipil Negara.

Awalnya, saat ada kewajiban Asesmen TWK itu, beberapa pegawai KPK mempertanyakan mekanisme TWK, apa saja ukuran atau indikatornya, dan bagaimana apabila ada pegawai KPK yang tak lulus. Jawaban Pimpinan KPK dan para pembantunya tak ada yang tegas, kabur, dan malah menambah kebingungan. Selain itu, pada waktu itu, sekitar 6 Maret 2021, seorang Pimpinan KPK, Nurul Ghufron, menyampaikan pesan lewat email internal KPK. Beliau menyatakan bahwa pada intinya Asesmen TWK hanya pemenuhan asas prosedural sebagai syarat alih status Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Materi assesmen kebangsaan ini hanyalah pandangan yang digali dari peserta, bukan bersifat pengetahuan, hafalan, atau ingatan, sehingga tidak ada yang perlu dihafalkan. Materi asesmen tes kebangsaan tersebut meliputi 3 hal, yakni Integritas Berbangsa: konsistensi berperilaku selaras dengan nilai norma dan etika organisasi dalam berbangsa dan bernegara, Netralitas ASN: penilaian terhadap ketidakberpihakan pegawai ASN pada segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak berpihak kepada siapa pun, dan Anti Radikalisme: penilaian terhadap kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah,” tulisnya.

Selanjutnya, Komisioner KPK itu menulis, “Anda adalah pegawai terbaik bangsa Indonesia, tunjukkan itu bahwa anda lebih dari ukuran-ukuran kepegawaian standar biasa, anda adalah pegawai luar biasa. Selanjutnya, ikuti asesmen sesuai petunjuk dan koordinasi Biro SDM (KPK).”

Nurul Ghufron meneruskan, “mungkin ada ketidaksesuaian dengan aspirasi sebagian insan KPK yang menganggap tidak perlu lagi asesmen tes kebangsaan ini, karena selama ini insan KPK telah bekerja memberantas korupsi sebagai rasa cinta NKRI. Hal tersebut tidak memenuhi asas prosedural, yang membutuhkan proses dan dokumen hasilnya sebagai syarat alih status menuju ASN. Yakinlah, segenap pimpinan KPK dalam perjuangan anda semua melalui proses alih status ASN ini. Mungkin tidak semua hal yang anda inginkan serta aspirasi anda dapat diamini oleh pimpinan KPK.”

“Perbedaan pandangan tersebut harus kita satukan dalam koridor hukum. Aspirasi dan keinginan anda yang selaras dan memenuhi hukum, tentu kami dukung bersama. Sebaliknya, saya yakin anda semua tak berharap kami mendukung aspirasi anda yang tidak sesuai hukum, apalagi bertentangan dengan hukum. Kami tahu anda semua adalah insan KPK yang sangat dan telah teruji integritasnya, dan mari kita buktikan dalam momen ini pun bahwa kita semua insan KPK insan yang berintergitas pun sampai pada ketika diperhadapkan dengan kepentingan kita sendiri,” pungkasnya.

Ucapan terkadang memang tak semanis perbuatan. Kepentingan, senyatanya, lebih berkuasa ketimbang upaya menjadikan negeri ini makmur dan adil lewat pemberantasan korupsi yang tegas tak pandang bulu. Konflik kepentingan, merujuk Najwa Shihab dalam kata pengantarnya di buku ini, adalah sublimasi lancung antara kekuasaan dan orang-orang yang menduduki kekuasaan itu. Hal ini, katanya, berkaitan dengan bagaimana kekuasaan diselenggarakan secara tumpang tindih dengan urusan-urusan lain yang tak bersangkutan dengan kepentingan publik.

Dalam Asesmen TWK, Pegawai KPK, khususnya mereka yang nantinya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat, menemukan keanehan. Sebagaimana dapat dibaca dalam buku ini, ada dari mereka yang ditanyai pendapatnya tentang wacana masa tugas jabatan Presiden selama tiga periode, kasus perebutan kursi Ketua Umum Partai Demokrat, peraturan pelarangan pemakaian jilbab di sebuah perusahaan. Juga, pertanyaan-pertanyaan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq, Lesbian-Gay-Biseksual-Transgender (LGBT), dan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif berbahaya lainnya (narkoba). Kumpulan pertanyaan itu sesungguhnya tidak berkait langsung dengan materi Asesmen Alih Status Pegawai KPK menjadi ASN.

Buku Perlawanan Sehormat-hormatnya ini, sekali lagi, merupakan sebuah ikhtiar melawan lupa. Pimpinan KPK periode 2019 – 2023 secara kejam telah menggusur 57 pegawai KPK. Pimpinan KPK telah buta-hati mendepak anak kandungnya sendiri. Atau, sejak awal barangkali memang sudah dianggap anak haram. Sebuah perangai yang bengis dan semena-mena dari Pimpinan KPK itu. Bahkan, sampai titik tertentu sudah biadab.

Bengis, karena Pimpinan KPK ketika itu tak menghiraukan Hak Azasi Manusia (HAM) ke-57 pegawai KPK yang terbuang. Padahal, mereka memiliki HAM karena mereka manusia. Sekali lagi, karena mereka manusia. Hak itu tak bisa dihilangkan atau dinyatakan tak berlaku oleh negara, apalagi oleh sekadar Pimpinan KPK. Tak menghormati HAM yang kami punyai menunjukkan bobroknya penghormatan terhadap martabat manusia oleh Pimpinan KPK.

Pimpinan KPK periode 2019 – 2023 secara kejam dan tuna belas-kasihan acuh kepada martabat kemanusiaan ke-57 pegawai itu. Pimpinan KPK tak mengakui hak azasi manusia mereka, di mana mereka disudutkan sebagai pihak yang lemah, terancam, tak dapat membela diri, tak berguna.

Semena-mena, karena KPK mengabaikan temuan fakta tak terbantahkan dari Ombudsman. Bahwa telah terang benderang pelanggaran administrasi dalam proses Asesmen TWK Pegawai KPK. Terlebih, Pimpinan KPK sesungguhnya sudah silap mata atas rekomendasi Ombudsman saat itu.

Biadab, karena KPK telah memecat 57 Pegawainya tanpa basis hujjah yang kuat. Argumen pemecatan amat oleng, guncang, goyang, labil. Ke-57 Pegawai KPK dimatikan secara terburu-buru dan sadis. Bagaikan kelakuan immoral dan brutal orang-orang Gerakan 30 September 1965.

Akhirnya, buku Perlawanan Sehormat-hormatnya ini pada prinsipnya merupakan cermin jernih bagi ke-57 Pegawai yang digusur itu sendiri. Bahwa perbuatan kejam yang menimpa mereka jangan dibalas kepada orang lain, bahkan apabila mereka nantinya berkuasa atau memiliki jabatan. Tetaplah rendah hati dan teguh pada ikrar, sebagaimana petikan syair WS Rendra, yang juga dicuplik oleh Lakso Anindito di dalam buku ini: Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi, Keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Faisal Djabbar
Faisal Djabbar

Pegawai KPK 2005 – 2021

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Publikasi Lainnya